Beranda » Dampak Pasca COVID-19 & Seberapa Perlu Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimmune Inflammatory Rheumatic Disease (AIIRD)

Dampak Pasca COVID-19 & Seberapa Perlu Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimmune Inflammatory Rheumatic Disease (AIIRD)

by Luds

MediaSorotan.com – Sebagai pelopor dalam pengembangan teori, penelitian, pendidikan, dan praktik reumatologi di Indonesia, Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA) bekerja sama dengan Novartis Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit autoimun, khususnya tentang penyakit reumatik inflamasi autoimun (autoimmune inflammatory rheumatic disease/AIIRD).

Penyakit autoimun ditandai dengan peradangan sistemik, di mana sistem kekebalan yang tidak teratur menyebabkan kerusakan atau disfungsi organ target. Penyakit autoimun reumatik termasuk kondisi seperti lupus eritematosus sistemik (LES), rheumatoid arthritis (RA) dan sklerosis sistemik (scleroderma), di mana jaringan ikat (tulang rawan, sinovium sendi, kulit) paling sering menjadi sasaran.

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) sendiri merupakan salah satu kondisi gangguan autoimun kompleks yang menyerang berbagai sistem tubuh. Faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit ini diketahui seperti gen dan lingkungan. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat beragam seperti pada kulit, sendi, ginjal dan sistem organ lainnya yang tidak selalu muncul bersamaan, sehingga sering kali dikenal dengan penyakit dengan seribu wajah. Walaupun beberapa data sudah tersedia seputar lupus, namun hingga kini, data epidemiologi nasional terkait penyakit ini belum tersedia di Indonesia.

Setiap pasien LES memiliki gejala yang berbeda-beda. LES memiliki manifestasi klinis, kelainan imunologi, perjalanan penyakit, serta akibat penyakit yang beragam. Manifestasi klinis pada kulit, ginjal, dan sistem organ lainnya tidak selalu muncul bersamaan, melainkan dapat berkembang seiring dengan perjalanan penyakit.

Penyakit lupus sulit didiagnosa karena memiliki banyak gejala yang sering disalah artikan sebagai penyakit lain. Penegakan diagnosis LES merupakan sebuah tantangan tersendiri karena keragaman manifestasi klinisnya. Rasio pasien perempuan dan laki laki adalah 15:1 hingga 22:1 dengan awitan gejala yang muncul di rentang usia produktif. Diagnosis LES dapat dipastikan berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan penunjang serta memerlukan kajian secara mendalam oleh dokter spesialis. Setelah diagnosis ditetapkan pasien memerlukan penilaian terhadap aktivitas penyakit dan keterlibatan organ untuk menentukan rencana terapi yang tepat.

Dr. dr. Cesarius Singgih Wahono, SpPD-KR, Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi menuturkan, “LES memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Dibandingkan dengan populasi sehat, penyakit ini menjadi sebuah penghalang dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena gejalanya yang muncul secara signifikan atau kambuh secara tiba-tiba dengan didominasi gejala seperti kelelahan, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik, dan rasa nyeri. Tidak hanya itu, LES juga memiliki dampak negatif pada karier pasien, bahkan hingga 39 persen pasien LES melaporkan bahwa mereka harus berganti pekerjaan karena penyakit tersebut.”

“Agar dapat mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik, penting bagi pasien LES untuk disiplin dengan perawatan yang dijalani. Tentunya, dengan pemantauan pengobatan yang ketat, 80-90 persen pasien lupus dapat menjalani hidup normal. Perawatan penyakit lupus yang bersifat jangka panjang, bertujuan untuk menekan sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, menginduksi remisi dan mencegah kerusakan organ permanen. Pengobatan standar dari perawatan lupus adalah menggunakan non-farmakologi (edukasi, menghindari panas matahari, manajemen stress) dan pengobatan (antimalaria, steroid, dan imunosupresan/penekan sistem imun). Pada pasien lupus sedang hingga berat yang sudah melibatkan organ lain seperti ginjal, penggunaan imunosupresan digunakan bersamaan dengan obat steroid, untuk meminimalisir efek samping jangka panjang steroid yang mungkin ditimbulkan, seperti penumpukan lemak di pipi (moon face), aterosklerosis, dan lain sebagainya. Dukungan keluarga, sahabat, dan komunitas juga memegang peranan penting,” tambah dr. Singgih.

Tantangan yang dihadapi oleh pasien LES begitu tinggi, terutama di tengah pandemi COVID-19 yang saat ini sedang berlangsung. Di mana, meningkatnya risiko penularan virus COVID-19 pada pasien autoimun membuat pasien lupus harus mengambil tindakan pencegahan ekstra. Pasien LES yang dirawat di rumah sakit karena sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) disebabkan oleh COVID-19 memiliki risiko mortalitas lebih tinggi dan kondisi yang buruk secara signifikan, dibandingkan dengan individu yang sehat tanpa penyakit bawaan lainnya.

Prof. Dr. dr. Harry Isbagio, SpPD-KR, KGer, Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi mengatakan, “Pandemi COVID-19 ini kemungkinan akan dapat menyebabkan munculnya penyakit autoimun, termasuk penyakit autoimmune inflammatory rheumatic, seperti lupus, artritis reumatoid. Gejala penyakit AIIRD dapat muncul sewaktu-waktu; tetapi pasien mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan karena kurangnya tenaga spesialis yang menangani pasien-pasien dengan AIIRD; bagi pasien yang sedang dalam perawatan, membutuhkan lebih banyak biaya pengobatan hingga pasien menghadapi kendala keuangan.”

Menurut Prof. Harry, “Imunogenesitas (respon tubuh terhadap vaksin) pada jenis vaksin SARS-COV2 yang inaktif, mRNA, dan viral vector lebih rendah pada pasien AIIRD dibanding pada populasi umum. Sedangkan untuk tingkat keamanan vaksin tersebut sama saja. Perbedaan imunogenesitas ini dapat dikarenakan karena penggunaan obat imunosupressif pada pasien AIIRD. Mengingat, pasien AIIRD memiliki risiko yang lebih tinggi terkena infeksi COVID-19 dan lebih berat hal ini membuat vaksinasi COVID-19 menjadi bagian penting dari perawatan, dan vaksinasi dapat diberikan atas persetujuan dari dokter yang merawat” tutup Prof. Harry.

Seiring dengan dampak global dari pandemi COVID-19 yang masih terus berlanjut, Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA) terus berkomitmen dalam membantu pasien lupus dengan memberikan informasi terkini tentang perkembangan baru virus COVID-19 dan dampaknya bagi komunitas lupus. IRA juga memberikan pedoman apabila seseorang mengalami gejala lupus, serta edukasi tentang penanganan untuk mencegah kondisi akut (flare) dan mengatasi gejala yang muncul.

Novartis Indonesia sebagai mitra dalam upaya peningkatan kesadaran terhadap penyakit lupus ini, menegaskan komitmennya dalam turut meningkatkan kualitas hidup pasien LES atau autoimun di Indonesia. “Sejalan dengan tujuan kami reimagine medicine, Novartis secara berkelanjutan bermitra dengan IRA mengadakan program-program edukasi, baik kepada pasien, awam, maupun tenaga kesehatan – berupa seminar, webinar atau pembuatan materi edukasi; selain terus membuka akses yang lebih lebih luas bagi lebih banyak pasien untuk mendapatkan pengobatan inovatif melalui program JKN,” jelas Hanum Yahya, Country Head of Public Affairs, Communications & Patient Engagement PT Novartis Indonesia.

You may also like

Leave a Comment